Berpikir positif, bersikap & bertindak bijak

 Masalah kebebasan dan demokrasi di negara-negara Muslim merupakan syarat utama bagi proses modernisasi (tahdîts), dan modernisasi merupakan syarat utama bagi perubahan dan rekonstruksi struktur sosial. Kini kita hidup dalam masyarakat yang diliputi dengan keterbelakangan, dan tidak mungkin mengubah struktur masyarakat seperti ini selain dengan menelusuri lalu mengikis habis akar-akar keterbelakangan itu. Dengan demikian, pembahasan-pembahasan tentang kemajuan dan prasyaratnya di dalam masyarakat terbelakang merupakan syarat utama dan pertama dalam melancarkan perubahan sosial.

Di antara fenomea keterbelakangan di dalam masyarakat kita adalah adanya dominasi dan supremasi kelas atas (al-qimmah) atas kelas bawah (al-qâ’idah), penguasa atas rakyat, pemimpin atas yang dipimpin. Kita hidup dalam masyarakat yang kekuasaannya bercorak paternalistik; ada kepala suku, pembesar keluarga, bapak keluarga, dan semacamnya. Dan tidak mungkin mengubah struktur sosial kecuali ketika kelas bawah mempunyai hak kritik dan hak debat terhadap kelas atas, ketika kelas bawah berani menunjukan—atau bahkan mengambil—hak-haknya yang ada di tangan kelas atas, sehingga terjadi persamaan antara kedua belah pihak.

Merubah masyarakat dari fase taklid, pengagungan tradisi, dan absolutisme ke fase ijtihad, pembaharuan dan kebebasan intelektual merupakan syarat utama bagi segala upaya perubahan struktur-struktur politik dan sosial. Untuk merealisasikan itu semua kita dituntut untuk menelusuri akar sejarah dari krisis kebebasan dan demokrasi dalam kesadaran kita, kemudian akar-akar krisis itu kita cabut dengan tuntas, sehingga masyarakat kita mengalami perubahan dan strukturnya selalu berada di bawah kendali dan kontrol kritik yang berkesinambungan. Langkah-langkah kritis itu dimulai dengan mengkritisi warisan-warisan intelektual berupa dogma-dogma dan aksioma-aksioma agama yang kita terima dari para pendahulu, seraya memberikan tafsir ulang sejalan dengan dinamika dan tuntutan zaman. Dari sinilah perubahan sosial dimulai. Dan karena kritik-kritik yang kita lakukan itu hanya mungkin terjadi dengan mempergunakan akal, tak bisa lain, maka penggunaan akal merupakan awal dari pergerakan dan dinamisasi masyarakat. Akal yang dimaksud adalah akal alam (al-‘aql al-thabî’î) yang berinteraksi langsung dengan alam inderawi, alam nyata dan alam empirik. Dengan akallah kebebasan manusia, independensi kehendaknya serta perannya dalam sejarah, juga penguasaannya atas alam teraktualisasi. Dengan peran akal juga akar-akar sejarah yang menjadi biang krisis kebebasan dan demokrasi tergali dan akhirnya tersingkirkan. Biang krisis itu yang paling penting antara lain persepsi monolitik, tafsir tekstual, takfîr (mengkafirkan) lawan, sikap a priori dan ingin menang sendiri, dan penyerapahan akal. Jika akar-akar krisis ini sudah tercerabut, masyarakat kita bakal mampu menghadapi problem-problem riilnya serta sanggup menentukan pilihan struktur politik dan sosial mana yang akan mereka ambil dari struktur-struktur yang beragam itu, sesuai dengan kemaslahatan dan kebutuhan objektif mereka.

Realitas umat Islam dewasa ini sungguh mengherankan. Dalam masalah politik umpamanya, Islam telah membangun fondasi politiknya atas dasar persamaan dan pengakuan atas hak oposisi politik, dengan kewajiban “amar ma’ruf nahi munkar” sebagai landasan normatifnya. Namun mengapa dalam perjalanan selanjutnya umat Islam menjadi umat yang lemah dan “penurut” serta menyerahkan urusan politiknya kepada satu lembaga yang kita kenal dengan “Ahl al-hill wa al-‘aqd” yang kerjaannya tak lebih dari memberikan legitimasi politik bagi pemerintahan yang berkuasa sembari menakut-nakuti rakyat agar jangan coba-coba mengusik “pemerintahan yang sah”, seraya mengincar kursi-kursi dan lahan-lahan “basah” dengan melakukan “pendekatan” kepada lingkar kekuasaan.

Oposisi politik merupakan inti aturan politik Islam yang Al-Qur’an mengungkapkannya dengan seruan “al-amr bî al-ma’rûf wa nahy ‘an al-munkar”. Amar ma’ruf nahi munkar, dengan demikian, harus menjadi karakter utama umat Islam dan harus dipedomani oleh Ahl al-hill wa al-‘aqd dalam menyikapi kekuasaan politiknya. Ia menjamin perlindungan bagi rakyat. Kaum Muktazilah menjadikannya sebagai salah satu prinsip dasar ajarannya, dalam ilmu fikih ia menjadi salah satu bab penting tentang dasar-dasar kepemerintahan Islam. Al-Qur’an menyebut kata ini pada sembilan tempat, masing-masing mengandung butiran hakikat yang mesti kita jadikan pegangan dalam kehidupan politik. Kesembilan tempat itu sebagai berikut:

a.      Amar ma’ruf nahi munkar merupakan satu-satunya sebab umat Islam menjadi umat terbaik bagi seluruh umat manusia (Q.S. Âli ‘Imrân/3:110). Keutamaan umat, sebagaimana ditegaskan ayat ini, bukan didasarkan atas keturunan, etnis, harta kekayaan, dan jabatan, tetapi atas kemampuan mereka dalam mengawasi negara dan mempergunakan hak politiknya dengan beroposisi, serta perjuangannya dalam membela kemaslahatan umum. Makna tauhid harus tercermin dalam perbuatan baik terhadap sesama manusia dengan memberikan nasihat, menunjukkan kebenaran dan mengikis kebatilan.

b.      Ia merupakan perintah Tuhan (Q.S. Âli ‘Imrân/3:104). Melakukan amar ma’ruf nahi munkar sama sekali bukan terdorong oleh emosi, hawa nafsu atau tendensi-tendensi pribadi. Ia merupakan kefarduan bukan sekadar anjuran, ia adalah kewajiban bukan sekadar imbauan bagi mereka yang mampu. Berpaling dari kewajiban itu sama dengan membawa diri kepada ancaman-Nya. Ia adalah fardu kifayah bagi kaum Muslimin, oleh karena oposisi politik selalu dilakukan oleh suatu kelompok kecil, yaitu kelompok yang sadar dan senantiasa mengupayakan terwujudnya kebaikan umum. Sedikit atau banyaknya orang yang mau menegakkan tidak terlalu penting, yang penting kualitas dan isi yang mereka sampaikan.

c.       Ia merupakan syarat iman kepada Allah dan jalan menujunya (Q.S. Âli ‘Imrân/3:110). Iman kepada Allah bukan sekadar niat, ucapan atau amal individual, tetapi amal sosial yang mempunyai implikasi positif bagi kehidupan manusia secara umum. Iman bukanlah jalan yang aman dan lempang, melainkan jalan yang sarat dengan onak dan bahaya. Itu semua bukan untuk dijauhi, tapi untuk dijalani dengan menunjukkannya di hadapan khalayak. Oposisi politik tidak bisa dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau malu-malu, sebab keimanan menuntut kejelasan dan tidak takut kepada siapa pun. Oposisi harus dinyatakan secara terbuka dan terang-terangan, sebagaimana lantangnya kita menyatakan tauhid dengan berucap “Tiada ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Khalik”.

d.      Ia adalah yang membedakan masyarakat Mukmin dari masyarakat munafik (Q.S. al-Tawbah/9:71). Hubungan sosial yang didasarkan atas iman adalah hubungan saling menasihati dan mengarahkan. Oposisi politik demi kemaslahatan umum merupakan fondasi masyarakat Mukmin. Sedangkan melegitimasi pemerintahan yang sedang berkuasa demi mempertahakan kepentingan pribadi merupakan fondasi dan ciri masyarakat munafik.

e.      Derajat amar ma’ruf nahi munkar tidak kurang dari shalat. Ia merupakan pembeda seorang Mukmin dari non-Mukmin (Q.S. al-Tawbah/9: 71). Ia merupakan shalat sosial (shalâh ijtimâ’yah) yang tujuannya sama dengan shalat individual; mencegah kekejian, kemunkaran, kezaliman, menghilangkan ketakutan, kebungkaman, kemunafikan dan sikap pengecut.  Oposisi politik menyerupai shalatnya kaum Mukmin, bukan keluar dari ketaatan kepada Allah, Rasul dan pemerintah. Seruan (azan) untuk mendirikan shalat di dalamnya mengandung kekuatan yang sangat besar untuk menentang segala bentuk kesombongan dan tirani.

f.        Seseorang tidak dapat dibilang sempurna keimanannya hanya dengan menjadikan dirinya sebagai seorang ahli taubat, ahli ibadah, ruku’ dan sujud. Ia harus menyempurnakan keimanannya dengan menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran (Q.S. al-Tawbah/9: 122). Amar ma’ruf nahi munkar merupakan ibadah kolektif (‘ibâdah jamâ’iyah) guna terlindungi dan tegaknya aturan-aturan Allah. Oposisi politik secara kolektif lewat sebuah partai untuk memperjuangkan dan membela hak-hak kaum Muslimin dan menunjukkan kewajiban-kewajiban para penguasa merupakan pengejewantahan amar ma’ruf nahi munkar.

g.      Ia merupakan seruan untuk berbuat baik, bukan kebencian, kedengkian, apalagi berbuat kerusakan dan kehancuran di muka bumi (Q.S. Âli ‘Imrân/3: 114). Ia merupakan ajaran untuk berbuat kebajikan, bukan keburukan; untuk menempuh yang halal, bukan yang haram; demi kebaikan, bukan demi kekejian (Q.S. Al-A’râf/7: 157). Oposisi politik bertujuan untuk mewujudkan kebaikan masyarakat dan memasyarakatkan kebaikan, untuk merealisasikan kebersamaan bukan untuk memasyarakatkan kemiskinan, bukan untuk membatasi aktivitas dan mengebiri masyarakat dengan ancaman-ancaman sanksi dan hukuman.

h.      Amar ma’ruf nahi munkar merupakan syarat–setelah shalat dan zakat–bagi pemberdaayaan dan kemakmuran umat di muka bumi ini (Q.S. al-Hajj/22: 41). Umat-umat terdahulu mengalami keruntuhan karena mereka tidak mencegah kemunkaran dan menyuruh kepada kebaikan sehinga kemunkaran merebak dan nilai-nilai keutamaan lenyap. Oposisi politik dilakukan demi stabilitas dan rasionalitas sistem pemerintahan, mengenyahkan oposisi sama dengan menghancurkan pemerintah dan meruntuhkan sistemnya.

i.        Para penegak amar ma’ruf nahi munkar harus sabar menerima kebencian dan penderitaan, sebagaimana diwanti-wantikan Lukman kepada putranya (Q.S. Luqmân/31: 17). Tak heran kalau semua gerakan oposisi selalu akrab dengan segala macam pelecehan dan penindasan dari para penguasa.

Salah satu upaya pembebasan masyarakat adalah dengan cara membebaskan pola pandang mereka terhadap alam. Sementara ini pandangan mereka terhadap alam adalah berbentuk piramidal-sentralistik (haramî-markazî). Pandangan seperti ini berpengaruh juga kepada pandangan mereka terhadap masalah sosial dan politik. Terbentuklah dalam benak mereka gambaran tentang “kota (negara) utama” di mana kekuasaanya terpusat pada seorang kepala negara atau imam sebagai khalifah Allah di muka bumi secara sentralistik. Institusi-institusi sosial dan politik kemudian mengambil jarak dari rakyat dan khalayaknya, di mana pihak yang kedua (rakyat dan khalayak) dipaksa atau direkayasa untuk menanggalkan perannya dalam melancarkan kritik dan beroposisi dan hanya boleh mengambil peran sebagai pendengar dan penurut. Berbagai ancaman dikeluarkan untuk menakut-nakuti rakyat agar jangan sekali-kali mengkritisi lingkar kekuasaan, apalagi sang penguasa itu sendiri. Operasi fisik kemudian menjadi satu-satunya cara untuk mengenyahkan oposisi dan para oposan, sang penguasa menjadi seorang manusia paling sempurna (akmal al-basyar) yang tak pernah salah dan tidak dapat dievaluasi dan dikritik. Dalam situasi seperti ini, institusi sosial dan politik yang konstitusional merupakan satu-satunya pilihan yang diharapkan mampu mengontrol lembaga kekuasaan dan perilaku penguasa, sehingga pembangunan politik tercipta secara menyeluruh tanpa tunduk kepada hawa nafsu dan kepentingan pribadi para penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya.

Salah satu rintangan yang mesti dihadapi guna membebaskan masyarakat, utamanya dalam bidang kehidupan politik, adalah penindasan, kesewenang-wenangan, aturan-aturan yang membelenggu kebebasan dan kekuasaan absolut yang hanya meninabobokan para penguasa. Penindasan dan absolutisme ini tercermin dari banyaknya penjara yang jumlahnya nyaris sama dengan jumlah perguruan tinggi. Para “alumni” penjara hampir sama jumlahnya dengan alumni perguruan tinggi. Dalam konteks ini, teologi tradisional perlu direformulasi agar sanggup memberikan sumbangannya terhadap agenda politik. Ia harus sanggup meneriakkan penolakannya atas segala bentuk penindasan, kesewenang-wenangan, keangkuhan, absolutisme dan otoritarianisme.

Islam tidak pernah menolelir segala bentuk kezaliman; Islam didasarkan atas pandangan ketuhanan yang lingkupnya mondial dan diorientasikan bagi kebaikan manusia. Islam tidak hanya menjamin kebebasan untuk melakukan ibadah bagi para pemeluknya saja, tapi juga bagi para pemeluk agama-agama lain. Dari sini, Islam adalah ibarat payung besar yang menaungi tatanan dunia yang menjamin kebebasan dan keadilan, di mana masyarakat hidup di bawah naungannya dengan aman dan merasakan kebebasan beragamanya. Karena itu, kaum Muslimin harus berjuang untuk membebaskan kaum lemah dari ketidakadilan guna menegakkan keadilan kemanusiaan (al-‘adâlah al-insâniyah). Perjuangan itu adalah dengan betul-betul menjalankan titah amar ma’ruf nahi munkar. Nilai ideal moral ini merupakan salah satu keistimewaan tata aturan Islam atas aturan-aturan selainnya.

Wallah A’lam

Diolah dari:

1. Fahmî Huwaidî, Al-Islâm wa al-Dîmuqrâthiyah, Kairo: Markaz al-Ahrâm lî al-Tarjamah wa al-Nasyr, cet. I, 1993.

2. Monâ Yâsîn “Al-Islâm fî ‘Uyûn al-Gharb” dalam Al-Gharb wa al-Islâm (ed. Mahjûb Umar), Kairo: Dâr Jihâd lî al-Nasyr wa al-Tawzî’, cet. I, 1994.

3. Hassan Hanafi, al-Dîn wa al-Tsawrah fî Mishr, Kairo: Maktabah Madbûlî,  tt

4. Muhammad al-Sayyid Muhammad Yûsuf, Al-Tamkîn li al-Ummah al-Islâmiyah fî Dha`u al-Qur`ân al-Karîm, Kairo: Dâr al-Salâm li al-Thibâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzî’ wa al-Tarjamah, cet. I, 1997.

5. Ahmad Mushalilî, Qirâ`ah Nadzriyah Ta`sîsiyah fî al-Khithâb al-Islâmî al-Ushûl (Nadzriyât al-Ma’rifah wa al-Dawlah wa al-Mujtama’), Kairo: Al-Nâsyir lî al-Thibâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzî’ wa al-I’lân, cet. I, 1993.

6. ‘Abd al-Halîm al-Jundî, Silsilah A’lâm al-Islâm, al-Imâm Muhammad ‘Abduh, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, cet. II, tt.

7. ‘Alî ‘Izzet Begovich, Islam Between East and West (terj. bahasa Arab oleh Muhammad Yûsuf ‘Adas, Al-Islâm bayna al-Syarq wa al-Gharb), Beirut: Muassasah al-‘Ilm al-Hadîts, cet. I, 1994.

8. Ernest Gellner, Conditions of Liberty, Civil Society and Its Rivals (terj. Ilyas Hasan Membangun Masyarakat Sipil, Prasyarat Menuju Kebebasan), Bandung: Mizan, cet. I, 1995.

9. Erich Fromm, The Sane Society (terj. Thomas Bambang Murtianto, Masyarakat yang Sehat), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, cet. I, 1995.

10. Sayyid Quthb, Al-Salâm al-‘Âlamî wa al-Islâm, Beirut: Dâr al-Syurûq, cet. VII, 1983.

11. Sayyid Quthb, Nahw Mujtama’ Islâmî, Beirut: Dâr al-Syurûq, cet. VI, 1983.

 

Leave a comment